Cuci Tangan Sebagai Ritual Keagamaan

Cuci Tangan Sebagai Ritual Keagamaan

Cuci Tangan Sebagai Ritual Keagamaan

Cuci Tangan Sebagai Ritual Keagamaan – Dalam masa pandemi Covid-19, mencuci tangan secara teratur dan menyeluruh merupakan salah satu langkah terpenting untuk meredam penyebaran virus SARS-Cov2. Tetapi bukan hanya dari sudut pandang higienis, bagaimana teknik mencuci tangan yang benar, perlu kita perhatikan.  Mengutip dari https://christian-mommies.com/ , menjaga kebersihan tubuh dengan mencuci tangan, juga sangat penting sebagai bagian dari tindakan ritual dalam agama.
Dalam Yudaisme, mencuci tangan awalnya memiliki makna ritual, seperti yang katakan Rabi Zsolt Balla. “Mencuci tangan telah menjadi topik dalam Yudaisme selama 3.000 tahun.”

“Pagi hari kita mulai dengan mencuci tangan,” Balla menjelaskan. “Siapapun yang makan roti juga harus membersihkan diri dengan cara ini sebelumnya. Selain itu, pengunjung sinagoge dan kuburan juga harus mencuci tangan.”

Rabi itu menekankan bahwa ketika mencuci tangan, perlu kita bedakan antara ritual dan kebersihan, karena kebersihan bukanlah tujuan awal dari mencuci tangan. Tujuan awal mencuci tangan murni merupakan aksi spiritual. Namun ritual sering mencuci tangan itu kini juga merupakan “bagian praktis” terkait kebersihan.

Wajib melindungi tubuh dan mental

Dengan mencuci tangan, kaum Yahudi dapat melindungi diri mereka dari penyakit serius pada masa lalu. Dalam kitab keempat Musa, orang tersebut perintahkan untuk melindungi kesehatan fisik dan mental mereka. Oleh karena itu, menurut Balla, bahkan pada saat krisis corona menyergap, bagi umat Yahudi sudah menjadi kewajiban untuk melindungi kesehatan sendiri – yaitu dengan menggunakan sabun dan desinfektan dalam mencuci tangan, selain dengan air.

Dalam Islam, berwudu sebelum salat lima waktu adalah kewajiban bagi umat. Alquran mengatur pembersihan tangan sebagai “wudu kecil”, juga dalam membersihkan wajah, kepala dan lengan sampai ke siku dan kaki. Para ulama bahkan menambahkan bagian tubuh lain seperti mulut, hidung dan telinga, berdasarkan banyak tradisi kenabian. Penyimpanan air menjadi bagian sentral dari setiap masjid. Namun dalam keadaan darurat, pencucian organ tubuh juga bisa terlaksana dengan pasir.

Wudu menghapuskan “cemaran kecil” yang muncul dari menyentuh kulit lawan jenis, tidur atau buang air. Selain itu, juga untuk membersihkan badan dari “najis besar”, misalnya setelah berhubungan seksual, yang membutuhkan “pembasuhan secara menyeluruh” pada seluruh tubuh, atau mandi junub. Peraturan membersihkan tubuh ini berkontribusi secara signifikan terhadap meluasnya penggunaan tempat pemandian umum pada dunia Islam.

Untuk sakramen ekaristi

Pada sisi lain, dalam agama Kristen, mencuci tangan memiliki makna khusus terutama bagi imam. “Pada awal Abad Pertengahan, motif kesucian kultus harus tekankan kembali, terutama untuk imam: Ia harus menyentuh “tubuh Kristus” dengan tangan yang bersih,” jelas pakar liturgi Bonn, Andreas Odenthal. Oleh karena itu, pada zaman dulu, ada beberapa ritual mencuci tangan, misalnya sebelum jubah dipakai dan saat memasuki mimbar ibadah.

Sejak reformasi liturgi setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), hanya ritual membersihkan tangan setelah persiapan perjamuan Ekaristi yang harus imam berdoa, sebagaimana termaktub dalam Mazmur 51, ayat 4: “Tuhan, bersihkan kesalahanku, bersihkan aku dari dosa-dosaku.”

Tetapi mengapa mereka menganggap mencuci tangan kurang penting bagi umat Kristen ketimbang bagi para imam? “Pertama-tama, sejak Abad Pertengahan tidak lagi dimaksudkan bagi orang yang menganut kepercayaan itu untuk menyentuh hosti (roti yang melambangkan tubuh Kristus) sendiri – diskusi ini berlanjut hingga saat ini dalam tata cara komuni,” kata Odenthal.

Mengutip dari https://dusembaev.com/ , tetapi Alkitab juga memberikan penjelasan mengapa mencuci tangan kurang menjadi perhatian. “Ketika Yesus tersentuh pada jubahnya oleh seorang perempuan yang berlumuran darah, ia kehilangan kesucian ritualnya, jika menurut hukum Yahudi,” jelas Odenthal. “Alih-alih berpaling atau mandi, ia menyembuhkan perempuan tersebut.”

Odenthal melihat peristiwa itu sebagai adegan kunci bagi pemahaman Kristiani tentang kemurnian. “Yesus tidak berbagi gagasan tentang kesucian kultus yang tersebar luas pada saat itu. Karenanya, apa yang pada akhirnya membuat kita, kristiani anggap murni, bukanlah lewat pembasuhan, melainkan melalui perayaan ekaristi,” pungkasnya.